Jumat, 23 September 2011

my kids are my teachers

Judul diatas benar adanya.
Anak-anak saya usia 5,5 th, 4 th, dan 1 th dan mereka benar-benar bikin saya dan suami harus bekerja keras dalam keseharian kami. Meskipun secara fisik mereka bisa menjadi beban, secara pengembangan diri mereka justru menjadi pendidik-pendidik buat saya.
I'm a single married mom, which means pada hari-hari kerja saya mengurus anak sendiri tanpa suami. Kami hanya berkoordinasi lewat bb. Ini kondisi di hari-hari ketika suami sedang dinas keluar kota yang memang menjadi tugas pokoknya sejak kami pindah ke Jakarta.
Gampang sekali untuk cepat marah-marah ketika saya sudah capek badan dan pikiran sepulang kerja. Belakangan saya sedang melatih diri untuk tidak inflict so much damage in my kids by controlling and channeling my temper appropriately.
Selama proses itu, saya menemukan bahwa masing-masing anak saya itu membawa suatu mata pelajaran khusus untuk saya kuasai. Sampai saya bisa, baru pelajaran akan beralih ke materi lain.
Misalnya Kahfi, putra sulung saya. Dia itu guru saya untuk saya bisa mengolah emosi negatif saya. Supaya saya bisa menjadi sabar dalam arti sesungguhnya. Menjadi lebih bijak dan menghargai. Tiap hari Kahfi melatih ini pada saya. Dia anak yang sangat banyak bicara dan cerdik. Sering pertanyaannya membuat saya gelagapan sulit menjawab. Sikapnya yang persistence juga sering membuat saya terganggu karena dia akan terus bertanya atau meminta sampai saya berikan. Saya mudah sekali terganggu dengan ucapannya yang konstan diulang-ulang. Dia juga sudah mulai punya pendirian yang keras. Saya tahu dia punya alasan yang masuk akal buatnya. Sering pendiriannya itu bertentangan dengan kemauan saya atau ayahnya. Misalnya ketika kemarin dia bangun kesiangan dan ngga mau langsung mandi. Padahal adiknya sudah rapi dan berangkat sekolah diantar kakek. Atas alasannya sendiri dia mau makan dulu, minum susu dulu, baru mandi. Saya merasa saat itu dia sedang menguji saya. Reaksi saya yang dulu adalah berteriak, marah-marah, mengancam, dan tampak lepas kendali. Karena saya bingung harus bagaimana dan putus asa, juga males untuk menunggu sejenak sampai menjadi jelas buat saya apa yang Kahfi inginkan. I think, Kahfi is my ultimate teacher to deal with my own demons. For now, anyway. He really knows which button in me to push, so now I am learning to change the buttons altogether, hehehee.
Aal punya materi yang berbeda untuk saya. Ketika baru lahir, Aal harus masuk ke inkubator blue light karena kuning. Saya pulang kerumah setelah melahirkan, tanpa bayi. Merana rasanya harus meninggalkan bayi saya di Rumah Sakit sendirian. Tidak bisa saya dekap, tidak bisa saya sering susui. I called him my little warrior karena dia harus menghadapi semua itu sendiri, tanpa kehadiran fisik saya. Al masuk RS dua kali untuk terapi blue light. Setelah sembuh, saya menciptakan diri saya untuk mengasuh dia sebaik mungkin, mengganti saat-saat yang hilang ketika kami terpisah. Saya merasa mudah sekali buat saya memahami apa yang dia mau, bahkan sejak bayi. Ketika Aal usia 6 bulan saya mulai bekerja dan dia diasuh di rumah oleh pembantu. Ini tidak menghalangi saya untuk tetap memahami Aal. Lebih mudah untuk saya memberi space dan waktu untuk Aal resolve his thoughts and feelings. Misalnya ketika Ia marah pada kakaknya, dia akan butuh waktu untuk dirinya sendiri sebelum dia mau berbaikan. Begitu juga bila ia membuat saya marah. Atas dorongannya sendiri, ketika dia sudah nyaman dia akan meminta maaf. Aal mengajari saya untuk menjadi orang tua yang loving and respectful.
Shaki. Oh, she's got her own thing. Ketika saya tahu saya hamil dia, saya takut akan segala perubahan yang harus terjadi, juga segala upaya yang harus dilakukan untuk menjamin semuanya bisa berjalan dengan baik dan aman. Tapi kehamilan ini pula yang membatalkan niat saya untuk melanglangbuana mengejar mimpi lanjut S2 di luar negeri. Shaki dalam kandungan yang menjadi jangkar buat saya untuk menyelesaikan tugas-tugas saya sebagai Ibu bagi anak-anak saya yang masih balita itu. Dia jangkar yang membuat saya lebih realistis. Kebutuhan anak-anak di 5 tahun pertama kehidupannya adalah menjalin attachment yang sehat dengan ibu dan ayahnya. Ini akan menjadi dasar kesejahteraan dan keseimbangan emosi-nya kelak. Ketakutan saya ketika hamil Shaki juga mengenai fakta bahwa saya akan punya anak perempuan. Dulu saya merasa ini akan menjadi oh tanggung jawab yang sangat berat. Merefleksi hubungan saya dengan ibu dimasa lalu yang tidak terlalu mulus, semakin memperparah ketakutan saya. How can I raise a girl, when girls tend to be more sensitive? she'd remember all her mom's faults....Looking back, I was so negative then. So, lessons with Shaki  most likely would be "what it means to be a woman"-for me. Saat ini emang belum terlalu nyata. Saya cuma prediksi aja ke arah sana. Ternyata raising an infant girl, then a baby girl, is fine. We haven't really touch the gender issues yet, but I feel it is manageable, visible, achievable. By now I know enough what to say to girls. Maybe I'll find out more when Shaki grows. Keep learning for me and there will be time for me to face my femininity side, and find out what it really means being a woman.

Rabu, 09 Februari 2011

Your Body Is ...Yours Truly

Buat ibu-ibu, gampang sekali berkomentar soal tubuh anaknya. Apalagi ibu-ibu yang punya anak perempuan. Bukan hal yang asing kalau dengar ibu komentari anak perempuannya "kamu tuh mbok ya ngurangin makan", atau kalimat-kalimat sejenis yang dampaknya meruntuhkan harga diri si anak (jangka panjang).

Sebenernya kan ngga ada ibu-ibu yang mau anaknya jadi minder dan merasa jelek ya? Maunya anak itu pede, dan khususnya bagi anak perempuan, ibu berharap anak perempuan tumbuh dengan menghargai kecantikan tidak hanya dari luar, tapi juga dari dalam diri. Lah, bagaimana harapan ini bisa terwujud kalau kalimat-kalimat ibu sehari-hari pada anak perempuannya tersirat pesan : "cantik adalah fisik yang (mendekati) sempurna".

Katanya pengen anak (perempuan) kita merasa cantik luar dalam ? Masa kita ajari dia melihat kecantikan itu dari luarnya saja? Bahaya. Iklan yang beginian udah kelewat banyak. Pencemaran paradigma bahwa wanita harus sempurna secara fisik sudah jadi "makanan" sehari-hari tiap kali kita menyalakan TV. Ingat ngga sama iklan salep penghilang bekas luka? Adegannya seorang wanita muda, langsing, menarik, berjalan dengan pede ke arah seorang pemuda ganteng. Tiba-tiba angin bertiup menyibak rambutnya dan memperlihatkan bekas luka goresan di pipi. Wanita tersebut tiba-tiba merasa ingin menciut jadi keciiiiiil, hanya karena dia ada bekas luka di pipi. Absurd banget.

Lagipula dengan mengomentari tubuh orang lain, termasuk anak, kita sudah melakukan pelanggaran batasan. Kapan kita sebagai orang tua mau mulai menyadari bahwa tubuh anak adalah miliknya sendiri? Bukan wilayah kita. Bukan wewenang kita. Cek lagi deh ke diri kita. Kalau ada orang lain, bahkan suami sendiri, kalo mengomentari tubuh kita dengan "sembarangan", rasanya gimana? Suka ngga? Nyaman ngga? Bisa terima ngga?

Kalaupun kita concern dengan pertumbuhan tubuh anak, misalnya, sebaiknya kita sampaikan dalam kalimat yang mengandung respect pada dia. Kita tidak melabel " si kurus", "si gendut", karena kata-kata ini punya konotasi yang kuat. Kelak bisa berpengaruh pada persepsi anak yang menilai orang lain dari bentuk tubuhnya. Kalau memang fokus keprihatinan kita adalah kesehatan, ya sampaikanlah demikian. Ajak anak (kalau sudah paham), belajar mengenai pola hidup dan pola makan yang sehat. Kalau anak belum paham, berikan contoh langsung, misalnya dengan merevolusi menu makanannya. Tapi lingkungan juga harus mendukung. Kalau concern-nya kesehatan, ya seluruh keluarga harus ikut mengubah gaya hidup. Walk your talk, moms.

Bijaklah dengan kalimat-kalimat yang kita sampaikan pada anak-anak. Karena kalimat dari orang tualah yang membentuk konsep diri pada anak. Sangat berpengaruh pada kepribadiannya.
Yuk, belajar.... ^^v

Artikel Terjemahan : Mengenalkan Ragam Perasaan pada Anak



1. Beri nama pd perasaan yg dialami anak. Cth : tertarik,takut,menikmati,dst.Blh smbl bermain sinonim "kamu sgt tertarik,gembira,riang,memainkan robot itu ya?"

2.Ktk anak bljr menamai perasaannya,ini memberi kesempatan mrk u/mengembangkan refleksi diri,perenungan,dan menurunkan impulsivitas.

3."Sebutkan perasaanmu" bs mjd mantra.Ank yg mampu menyebutkan perasaannya ibarat "ikut kelas aksel" dlm hal kemampuan mengatur perasaannya.Belajar mengendalikan diri ktk menghadapi tantangan dunia luar adl kemampuan yg pny manfaat seumur hdp.

4. Remaja yg sjk awal pny kemampuan tsb lbh mampu berpikir sblm bertindak dan bs membela diri dr tekanan teman sebaya scr lbh efektif.

5. Ktk anak sedang tantrum (ngamuk2 ngga jelas),dia sedang mengekspresikan perasaannya,sebuah sinyal SOS bhw ada sst yg tdk beres.  

6.Ibu/Ayh/Guru silakan mengendalikan emosi diri msg2.Trik-nya adl jgn terperangkap dlm ekspresi emosi negatif si anak, betapapun kuatnya, namun terjemahkan perasaan dan perilaku si anak ke dlm bahasa "perasaan", memahami dan bantu anak mengatasi apapun pemicu perasaan2 tsb.

Taken from www.psychologytoday.com/blog/great-kids-great-parents/201102/toddlers-part-ii-translating-words-back-feelings

Selasa, 08 Februari 2011

Kemajuan seni Berpasangan

Belakangan saya melakukan hal yang berbeda dari yang sebelumnya saya lakukan dengan suami. Ketika saya bermasalah dengan perilaku dia, saya katakan padanya bahwa saya butuh waktu untuk mengolah emosi saya. Saya menunda untuk membicarakan masalah tersebut diwaktu itu, dan memintanya untuk menunggu beberapa hari. Alasan saya, saya ingin lebih tenang jika kami bicara, dengan harapan solusi dapat lebih mudah dibuat bersama. 

Selama menunggu itu rasanya juga tidak nyaman. Serba salah. Pengen nangis. Pengen marah. Campur aduk. Berbagai pikiran negatif bersliweran. Saya ingin agar dia  juga melakukan bagiannya dalam membina hubungan kami. Saya ingin dia terjun dan terlibat untuk menciptakan hubungan yang romantis, harmonis, samara, dan menyehatkan jiwa raga kami. Hubungan yang juga memungkinkan kami untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik lagi dalam banyak hal. 

Hal yang berbeda saya lakukan adalah saya tetap menjaga masalah ini diantara kami saja. Dulu, saya sering memperlihatkan di depan anak-anak kalau saya sedang marah pada ayah mereka. Kali ini, saya berpikir untuk tidak mengganggu anak-anak. Saya tetap bicara pada ayahnya secara wajar. Saya masih menunjukkan bahwa saya menghargainya dihadapan anak-anak kami. Saya dan ayahnya masih mengurusi mereka, masih membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan anak-anak, sewajarnya. 
Maksudnya bukan untuk menutup-nutupi. Beda itu hasil akhirnya. Disini saya hanya menetapkan batasan bahwa ini adalah urusan antara kami para orang dewasa. 

Ketika akhirnya kami ngobrol mengenai hal itu, saya juga mendapat masukan dari suami. Ada sikap saya yang dia tidak suka dan ingin saya mengubahnya. Saya bisa menerima masukan dia. Saya menghargai dirinya dan saya ingin hubungan kami diperbaiki. Saya juga meminta kepadanya untuk lebih aktif kontribusi merawat hubungan kami. Saya tidak ingin sendirian dalam tim ini. Namanya bukan tim dong kalau yang bekerja hanya satu pihak? Ini berbeda dari tulisan saya beberapa waktu lalu. Dulu saya yakin bahwa It Takes Two to Tango but Somebody has to Make the First Move. Sampai First move menjadi second move, third move and so on dan terasa betapa melelahkannya berdansa sendiri....

Harapan saya, ketika nanti kami pergi kencan, kami bisa menikmati suasana berdua tanpa BB, tanpa membicarakan mengenai keuangan, anak, dan pekerjaan. Saya ingin lebih memahami dia dan tentunya ingin dia lebih memahami saya. Mudah-mudahan dengan begitu, kami senantiasa diingatkan akan semua hal yang membuat kami bersyukur kami saling memiliki.

Type Ibu Macam Apa

Selintas kepikiran pertanyaan ini.
Kadang saya ngerasa kayak jungkir balik belajar, sharing, browsing, apapun yang saya anggap cocok untuk diterapkan dalam pengasuhan saya pada anak-anak. 
Saya sadari alasannya. Saya ingin membesarkan anak-anak dengan lebih baik dari yang dilakukan orang tua saya. Apapun yang mereka sudah lakukan baik, saya ingin pertahankan atau lebihi, apapun yang sudah mereka lakukan kurang baik, saya ingin perbaiki dengan pola-pola yang lebih tepat buat anak-anak. Meski saya sadar saya tidaklah sempurna. Saya juga sadar, orang tua saya, dengan kelebihan dan kekurangannya, punya kontribusi yang luar biasa besar dalam kehidupan saya.


Lalu kenapa saya kadang nampak seperti frantic (gila-gilaan)
Mungkin ada "luka" yang ingin saya sembuhkan disitu? Yang ingin saya coba perbaiki melalui anak-anak saya. Tentu, orang tua saya tidak juga sempurna. Sedikit banyak, saya pernah mengalami luka batin akibat tindakan mereka, sengaja ataupun tidak. Saya pun begitu. Rasanya saya juga pernah melukai hati anak-anak saya. Dengan kesadaran ini, saya berusaha mati-matian untuk mengurangi kesempatan anak-anak terluka batinnya akibat tindakan saya. Karena saya tidak mau mereka seperti saya. Tidak masuk akal ya? Anak-anak kan tidak bisa meniru apa yang tidak ada. Mereka tidak bisa meniru untuk menjadi individu yang sehat mental, bahagia, dan optimis apabila tidak ada sosok seperti itu dari rumah untuk diteladani.


Makanya, mumpung saya lagi "eling"...saya memutuskan untuk sedikit relaks...lay back a little...
Santai sedikit laaaah.....hidup juga harus dinikmati, toh?
Saya tahu saya Ibu yang baik....dinilai dari upaya yang saya lakukan untuk menjadi seperti itu.
Saya memutuskan untuk memberi diri saya penghargaan atas jerih payah saya.
Sejauh ini saya berhasil...anak-anak berjalan dan tumbuh sebagaimana saya harapkan.
Dan tentu PR terbesar saya adalah berdoa untuk mereka. DOA Ibu itu kan mustajab insya Allah. Kapanpun, dimanapun.
Penting untuk tetap merasa bahagia, fun, and playful. Ini modal utama jadi orang tua.
Jadi, saya mau ciptakan hal-hal itu dalam hidup saya. Berdoa dan berusaha...tapi tetap santai. Dalam bersantai artinya saya juga berserah sama Allah. MembiarkanNya melakukan tugasNya.
^^v





How To Spend Time With Your Kids


Another line from someone I happened to know.
Also, bothered me. (I do get bothered often, don't I?)

It was in a conversation between moms at my kids' school. The topic was about whether TV actually good or bad for kids? Especially cable tv.
Sebagian dari ibu-ibu yang berkumpul saat itu berpendapat kalau TV ada manfaatnya untuk anak-anak. Oh, mereka sepakat bahwa sinetron lokal tidak bermutu dan melarang anak-anak untuk menontonnya. Yang mereka maksud adalah siaran TV berlangganan/TV cable, terutama Disney TV. Alasannya, acaranya bagus-bagus untuk pendidikan anak. Ada yang belajar bahasa inggris, ada yang belajar huruf, dan bahkan ada yang belajar membuat hasta karya dari acara di TV kabel tersebut. Namun satu komentar yang mengusik saya.

“Untung ada TV. Kalau ngga ada, saya bingung mau ngapain sama anak-anak di rumah”.
Saya tersentak mendengar ini. Ooo...ada ya, ibu yang ngga tau mau ngapain  kalau lagi berrsama anak-anaknya?

Lah, kalau saya...
TV memang bisa jadi pengalihan sementara. Kalau baru pulang kantor, anak-anak nonton TV saya masih bisa leyeh-leyeh dulu minum teh, ngobrol sama suami atau bbm-an. Nanti kalau TV sudah di matikan, pasti mereka akan datang menyerbu. Jadi saya memang menjadikan TV sebagai pengulur waktu supaya saya ada jeda untuk memulihkan diri sebelum “terjun” sama anak-anak.
Oke, saya memang tidak jauh lebih baik dari Ibunya teman anak saya diatas tadi. Sebelas dua belas lah. Saya ngga membela diri deh. Makanya saya terganggu dengan komentar ibu tadi karena ternyata mengingatkan saya pada kesalahan saya sendiri ;))
Jadi, solusinya adalah....waktu ayah dan bunda sudah lengkap semua di rumah, TV dan BB dimatikan, dan kita semua main sama-sama di kamar/ruang tamu. Family time.

PR selanjutnya adalah menjaga konsistensi pelaksanaan aturan ini ;))
Bismillah.

Hari ketika Damai lagi Minggat dari Indonesia

Hari ini 8 Februari 2011
Hari ini massa FPI membakar 2 gereja dan merusak 1 gereja di kota Temanggung. Kemarin, terjadi juga penyerangan terhadap golongan Islam minoritas di Cikeusik Banten, sampai ada yang meninggal dan dianiaya. Kejadian sebenarnya lebih parah dari yang mampu saya tulis disini.




Baca timeline seseorang mengenai kronologis kejadian temanggung membuat hati saya sangat perih. Air mata juga ikut mengalir mengiringi rasa hati yang bagai tersayat-sayat.


Saya tahu rasanya menjadi golongan minoritas. Ketika itu kami tinggal di kota yang mayoritas agama Nasrani. Saya sedang menanti kelahiran anak pertama. Andai posisi dibalik dan waktu diganti, jika saat itu kami sebagai kaum minoritas yang sedang diserang oleh kaum mayoritas setempat, mungkin saya dan Kahfi anak saya tidak ada lagi sekarang.


Nah, saya barusan browsing soal pluralisme dan pluralitas.
Pluralisme adalah paham yang menganggap semua agama adalah benar, sedangkan Pluralitas adalah paham yang mengakui keberadaan agama-agama yang berbeda, namun tidak mengakui kebenaran dari semuanya.


Ngga, saya ngga mau ngebahas soal itu karena bukan area keahlian saya.
Cuma pengen bilang bahwa terlepas dari paham apapun yang kita yakini, nyatanya dalam kehidupan kita saling membutuhkan kok.
Waktu saya jadi kaum minoritas, pastinya yang membantu saya melahirkan adalah dokter dari golongan Nasrani. Ketika kaum Nasrani merayakan hari Raya Keagamaan mereka, kami kaum minoritas tahu diri. Kami meng-handle pekerjaan mereka. Satpam yang muslim menjaga kantor, misalnya. Kami kaum minoritas di kota itu tidak songong.
Sadarilah bahwa kita masing-masing punya peran yang harus diisi dalam hidup bermasyarakat ini. Dan biar bagaimanapun, Allah menciptakan manusia ini saling terkati satu sama lain dalam jejaring kehidupan dan aksi reaksinya.


Ah, saya menulis terlalu ribet.
Andai kita bisa kembali pada yang sejati. Meneladani panutan-panutan kita yang sejati. Tidak memelintir sejarah dan fakta, mungkin kita akan bisa hidup lebih damai bersama-sama.