Judul diatas benar adanya.
Anak-anak saya usia 5,5 th, 4 th, dan 1 th dan mereka benar-benar bikin saya dan suami harus bekerja keras dalam keseharian kami. Meskipun secara fisik mereka bisa menjadi beban, secara pengembangan diri mereka justru menjadi pendidik-pendidik buat saya.
I'm a single married mom, which means pada hari-hari kerja saya mengurus anak sendiri tanpa suami. Kami hanya berkoordinasi lewat bb. Ini kondisi di hari-hari ketika suami sedang dinas keluar kota yang memang menjadi tugas pokoknya sejak kami pindah ke Jakarta.
Gampang sekali untuk cepat marah-marah ketika saya sudah capek badan dan pikiran sepulang kerja. Belakangan saya sedang melatih diri untuk tidak inflict so much damage in my kids by controlling and channeling my temper appropriately.
Selama proses itu, saya menemukan bahwa masing-masing anak saya itu membawa suatu mata pelajaran khusus untuk saya kuasai. Sampai saya bisa, baru pelajaran akan beralih ke materi lain.
Misalnya Kahfi, putra sulung saya. Dia itu guru saya untuk saya bisa mengolah emosi negatif saya. Supaya saya bisa menjadi sabar dalam arti sesungguhnya. Menjadi lebih bijak dan menghargai. Tiap hari Kahfi melatih ini pada saya. Dia anak yang sangat banyak bicara dan cerdik. Sering pertanyaannya membuat saya gelagapan sulit menjawab. Sikapnya yang persistence juga sering membuat saya terganggu karena dia akan terus bertanya atau meminta sampai saya berikan. Saya mudah sekali terganggu dengan ucapannya yang konstan diulang-ulang. Dia juga sudah mulai punya pendirian yang keras. Saya tahu dia punya alasan yang masuk akal buatnya. Sering pendiriannya itu bertentangan dengan kemauan saya atau ayahnya. Misalnya ketika kemarin dia bangun kesiangan dan ngga mau langsung mandi. Padahal adiknya sudah rapi dan berangkat sekolah diantar kakek. Atas alasannya sendiri dia mau makan dulu, minum susu dulu, baru mandi. Saya merasa saat itu dia sedang menguji saya. Reaksi saya yang dulu adalah berteriak, marah-marah, mengancam, dan tampak lepas kendali. Karena saya bingung harus bagaimana dan putus asa, juga males untuk menunggu sejenak sampai menjadi jelas buat saya apa yang Kahfi inginkan. I think, Kahfi is my ultimate teacher to deal with my own demons. For now, anyway. He really knows which button in me to push, so now I am learning to change the buttons altogether, hehehee.
Aal punya materi yang berbeda untuk saya. Ketika baru lahir, Aal harus masuk ke inkubator blue light karena kuning. Saya pulang kerumah setelah melahirkan, tanpa bayi. Merana rasanya harus meninggalkan bayi saya di Rumah Sakit sendirian. Tidak bisa saya dekap, tidak bisa saya sering susui. I called him my little warrior karena dia harus menghadapi semua itu sendiri, tanpa kehadiran fisik saya. Al masuk RS dua kali untuk terapi blue light. Setelah sembuh, saya menciptakan diri saya untuk mengasuh dia sebaik mungkin, mengganti saat-saat yang hilang ketika kami terpisah. Saya merasa mudah sekali buat saya memahami apa yang dia mau, bahkan sejak bayi. Ketika Aal usia 6 bulan saya mulai bekerja dan dia diasuh di rumah oleh pembantu. Ini tidak menghalangi saya untuk tetap memahami Aal. Lebih mudah untuk saya memberi space dan waktu untuk Aal resolve his thoughts and feelings. Misalnya ketika Ia marah pada kakaknya, dia akan butuh waktu untuk dirinya sendiri sebelum dia mau berbaikan. Begitu juga bila ia membuat saya marah. Atas dorongannya sendiri, ketika dia sudah nyaman dia akan meminta maaf. Aal mengajari saya untuk menjadi orang tua yang loving and respectful.
Shaki. Oh, she's got her own thing. Ketika saya tahu saya hamil dia, saya takut akan segala perubahan yang harus terjadi, juga segala upaya yang harus dilakukan untuk menjamin semuanya bisa berjalan dengan baik dan aman. Tapi kehamilan ini pula yang membatalkan niat saya untuk melanglangbuana mengejar mimpi lanjut S2 di luar negeri. Shaki dalam kandungan yang menjadi jangkar buat saya untuk menyelesaikan tugas-tugas saya sebagai Ibu bagi anak-anak saya yang masih balita itu. Dia jangkar yang membuat saya lebih realistis. Kebutuhan anak-anak di 5 tahun pertama kehidupannya adalah menjalin attachment yang sehat dengan ibu dan ayahnya. Ini akan menjadi dasar kesejahteraan dan keseimbangan emosi-nya kelak. Ketakutan saya ketika hamil Shaki juga mengenai fakta bahwa saya akan punya anak perempuan. Dulu saya merasa ini akan menjadi oh tanggung jawab yang sangat berat. Merefleksi hubungan saya dengan ibu dimasa lalu yang tidak terlalu mulus, semakin memperparah ketakutan saya. How can I raise a girl, when girls tend to be more sensitive? she'd remember all her mom's faults....Looking back, I was so negative then. So, lessons with Shaki most likely would be "what it means to be a woman"-for me. Saat ini emang belum terlalu nyata. Saya cuma prediksi aja ke arah sana. Ternyata raising an infant girl, then a baby girl, is fine. We haven't really touch the gender issues yet, but I feel it is manageable, visible, achievable. By now I know enough what to say to girls. Maybe I'll find out more when Shaki grows. Keep learning for me and there will be time for me to face my femininity side, and find out what it really means being a woman.
Anak-anak saya usia 5,5 th, 4 th, dan 1 th dan mereka benar-benar bikin saya dan suami harus bekerja keras dalam keseharian kami. Meskipun secara fisik mereka bisa menjadi beban, secara pengembangan diri mereka justru menjadi pendidik-pendidik buat saya.
I'm a single married mom, which means pada hari-hari kerja saya mengurus anak sendiri tanpa suami. Kami hanya berkoordinasi lewat bb. Ini kondisi di hari-hari ketika suami sedang dinas keluar kota yang memang menjadi tugas pokoknya sejak kami pindah ke Jakarta.
Gampang sekali untuk cepat marah-marah ketika saya sudah capek badan dan pikiran sepulang kerja. Belakangan saya sedang melatih diri untuk tidak inflict so much damage in my kids by controlling and channeling my temper appropriately.
Selama proses itu, saya menemukan bahwa masing-masing anak saya itu membawa suatu mata pelajaran khusus untuk saya kuasai. Sampai saya bisa, baru pelajaran akan beralih ke materi lain.
Misalnya Kahfi, putra sulung saya. Dia itu guru saya untuk saya bisa mengolah emosi negatif saya. Supaya saya bisa menjadi sabar dalam arti sesungguhnya. Menjadi lebih bijak dan menghargai. Tiap hari Kahfi melatih ini pada saya. Dia anak yang sangat banyak bicara dan cerdik. Sering pertanyaannya membuat saya gelagapan sulit menjawab. Sikapnya yang persistence juga sering membuat saya terganggu karena dia akan terus bertanya atau meminta sampai saya berikan. Saya mudah sekali terganggu dengan ucapannya yang konstan diulang-ulang. Dia juga sudah mulai punya pendirian yang keras. Saya tahu dia punya alasan yang masuk akal buatnya. Sering pendiriannya itu bertentangan dengan kemauan saya atau ayahnya. Misalnya ketika kemarin dia bangun kesiangan dan ngga mau langsung mandi. Padahal adiknya sudah rapi dan berangkat sekolah diantar kakek. Atas alasannya sendiri dia mau makan dulu, minum susu dulu, baru mandi. Saya merasa saat itu dia sedang menguji saya. Reaksi saya yang dulu adalah berteriak, marah-marah, mengancam, dan tampak lepas kendali. Karena saya bingung harus bagaimana dan putus asa, juga males untuk menunggu sejenak sampai menjadi jelas buat saya apa yang Kahfi inginkan. I think, Kahfi is my ultimate teacher to deal with my own demons. For now, anyway. He really knows which button in me to push, so now I am learning to change the buttons altogether, hehehee.
Aal punya materi yang berbeda untuk saya. Ketika baru lahir, Aal harus masuk ke inkubator blue light karena kuning. Saya pulang kerumah setelah melahirkan, tanpa bayi. Merana rasanya harus meninggalkan bayi saya di Rumah Sakit sendirian. Tidak bisa saya dekap, tidak bisa saya sering susui. I called him my little warrior karena dia harus menghadapi semua itu sendiri, tanpa kehadiran fisik saya. Al masuk RS dua kali untuk terapi blue light. Setelah sembuh, saya menciptakan diri saya untuk mengasuh dia sebaik mungkin, mengganti saat-saat yang hilang ketika kami terpisah. Saya merasa mudah sekali buat saya memahami apa yang dia mau, bahkan sejak bayi. Ketika Aal usia 6 bulan saya mulai bekerja dan dia diasuh di rumah oleh pembantu. Ini tidak menghalangi saya untuk tetap memahami Aal. Lebih mudah untuk saya memberi space dan waktu untuk Aal resolve his thoughts and feelings. Misalnya ketika Ia marah pada kakaknya, dia akan butuh waktu untuk dirinya sendiri sebelum dia mau berbaikan. Begitu juga bila ia membuat saya marah. Atas dorongannya sendiri, ketika dia sudah nyaman dia akan meminta maaf. Aal mengajari saya untuk menjadi orang tua yang loving and respectful.
Shaki. Oh, she's got her own thing. Ketika saya tahu saya hamil dia, saya takut akan segala perubahan yang harus terjadi, juga segala upaya yang harus dilakukan untuk menjamin semuanya bisa berjalan dengan baik dan aman. Tapi kehamilan ini pula yang membatalkan niat saya untuk melanglangbuana mengejar mimpi lanjut S2 di luar negeri. Shaki dalam kandungan yang menjadi jangkar buat saya untuk menyelesaikan tugas-tugas saya sebagai Ibu bagi anak-anak saya yang masih balita itu. Dia jangkar yang membuat saya lebih realistis. Kebutuhan anak-anak di 5 tahun pertama kehidupannya adalah menjalin attachment yang sehat dengan ibu dan ayahnya. Ini akan menjadi dasar kesejahteraan dan keseimbangan emosi-nya kelak. Ketakutan saya ketika hamil Shaki juga mengenai fakta bahwa saya akan punya anak perempuan. Dulu saya merasa ini akan menjadi oh tanggung jawab yang sangat berat. Merefleksi hubungan saya dengan ibu dimasa lalu yang tidak terlalu mulus, semakin memperparah ketakutan saya. How can I raise a girl, when girls tend to be more sensitive? she'd remember all her mom's faults....Looking back, I was so negative then. So, lessons with Shaki most likely would be "what it means to be a woman"-for me. Saat ini emang belum terlalu nyata. Saya cuma prediksi aja ke arah sana. Ternyata raising an infant girl, then a baby girl, is fine. We haven't really touch the gender issues yet, but I feel it is manageable, visible, achievable. By now I know enough what to say to girls. Maybe I'll find out more when Shaki grows. Keep learning for me and there will be time for me to face my femininity side, and find out what it really means being a woman.