Selasa, 18 Januari 2011

Artikel tentang Penganiayaan Seksual pada Anak

Pemangsa seksual anak alias pedofil semakin merajalela di masa sekarang ini. Meskipun merupakan sangat tidak nyaman untuk dibicarakan, namun kita tidak dapat menutup mata. Setiap hari TV Indonesia menayangkan berita anak-anak dilecehkan, dianiaya, dan diperkosa. Anak-anak yang kemurniannya direnggut, jiwanya dirusak, sudah semakin banyak jumlahnya. Sering kita berpikir “Hal seperti di TV itu tidak akan kubiarkan terjadi pada anak-anakku. Itu hanya terjadi pada mereka diluar sana”. Justru pemikiran seperti ini yang membuat kita lengah dan menempatkan anak-anak kita dalam bahaya yang lebih besar. Bukan bermaksud menakut-nakuti, hanya mengingatkan agar kita lebih waspada dan lebih sadar saja terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Sebab inilah kenyataan yang terjadi saat ini : http://www.leadershipcouncil.org/1/res/csa_myths.html

8 Mitos Umum mengenai Penganiayaan Seksual Anak

Mitos dan miskonsepsi umum di masyarakat ini tidak sesuai dengan data temuan statistik mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam kejahatan terselubung ini. Berikut mitos-mitos yang umum terjadi di masyarakat, namun FAKTA berbicara sebaliknya :

  1. Orang-orang berpendidikan baik, berpenampilan normal, dari kelas menengah tidak melakukan penganiayaan seksual pada anak.

Kenyataannya, pelaku penganiayaan seksual pada anak justru mengandalkan miskonsepsi ini dalam melakukan aksinya. Dr. Anna Salter, Ph.D seorang pakar di bidang ini menyatakan bahwa kedok yang ditampakkan pelaku kejahatan seksual anak pada dunia luar biasanya berupa “orang yang baik”, seseorang yagn di masyarakat dianggap punya karakter yang baik dan tidak akan mampu melakukan hal seperti itu.

  1. Masyarakat terlalu cepat percaya seseorang bersalah sebagai pelaku penganiayaan seksual pada anak, ketika buktinya tidak memadai.

Kenyataannya, orang terlalu cepat percaya bahwa tersangka tidak bersalah, bahkan ketika ada cukup bukti yang mendukung. Kebanyakan orang cenderung lebih menyalahkan korban atas peristiwa yang terjadi. Pada kenyataannya, sulit bagi kebanyakan orang untuk membayangkan seseorang dapat menganiaya anak secara seksual. Karena sulit untuk membayangkan bagaimana orang “normal” bisa melakukan tindakan sekeji itu, masyarakat berpikir penganiaya seksual anak pastilah seorang monster. Jika profil tersangka tidak nampak seperti yang dibayangkan itu, maka masyarakat cenderung tidak percaya pada tuduhan terhadap orang ini.

  1. Penganiaya anak menganiaya tanpa pandang bulu.

Kenyataannya, tindakan penganiayaan seksual membutuhkan proses “pemiaraan” lebih dulu, dimana pelaku mendekati korban, mendapatkan kepercayaannya, persahabatannya, dan penerimaan dari keluarga korban, untuk memungkinkan penganiayaan seksual terjadi. Pelaku penyerangan seksual juga menggunakan taktik suap, ancaman dan kekerasan untuk memastikan korban menuruti apa yang mereka minta. Penelitian dari Elliot, Browne, dan Kilcoyne (1995) mewawancarai 91 pelaku penganiayaan anak, semuanya pria, melaporkan bahwa mereka paling sering memilih korban dengan ciri sebagai berikut : anak yang memiliki masalah dalam keluarga, sering sendiri, kurang percaya diri, dan mudah percaya orang lain—terutama jika anak itu berwajah cantik atau tampan, berpakaian “provokatif”, muda, atau mungil.

  1. Anak yang telah dianiaya akan segera memberitahukan orang tuanya.

Kenyataannya, penelitian mengungkapkan bahwa anak yang telah diserang secara seksual sangat kesulitan mengungkapkan atau membicarakan penganiayaan mereka. Ini kemudian menjadi senjata bagi pelaku agar masyarakat dan orang dewasa lainnya meragukan keterangan dari anak, karena tidak disampaikan pada waktu yang berdekatan dengan waktu terjadinya peristiwa. Anak tidak mampu bercerita karena umumnya pelaku mengkondisikan pada korbannya bahwa peristiwa itu terjadi karena sesuatu yang korban lakukan. Akibatnya, anak yang menjadi korban kesulitan untuk membedakan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas peristiwa penganiayaan itu, pada akhirnya anak menyalahkan dirinya sendiri. Rasa takut akan mendapat hukuman, takut ditinggalkan, rasa bersalah, malu dan persangkaan dirinya terlibat menyebabkan penganiayaan, membuat anak semakin bungkam tidak mau mengungkapkan peristiwa penganiayaan yang dialaminya.

  1. Anak yang telah dianiaya akan mempunyai bukti fisik dari penganiayaan itu.

Kenyataannya,penelitian menunjukkan bahwa temuan abnormal pada alat kelamin sangat jarang bahkan pada kasus dimana penganiayaan telah terbukti. Beberapa tindakan seperti seks oral dan cumbuan, tidak meninggalkan jejak fisik. Bahkan luka akibat penetrasi sembuh dengan sangat mudah pada anak kecil, jadi temuan kondisi alat kelamin yang abnormal sangat jarang, terutama jika anak diperiksa lebih dari 48 jam setelah kejadian.

  1. Ratusan Orang, laki-laki dan perempuan, telah secara keliru dituduh dan dihukum dalam penjara atas tuduhan penganiayaan seksual terhadap anak.

Kenyataannya, Data statistik di masyarakat Amerika mengungkapkan sebaliknya, pelaku jarang tertangkap ataupun dituntut.

  1. Jika ditanya mengenai penganiayaan, anak cenderung melebih-lebihkan dan rawan melakukan tuduhan-tuduhan palsu.

Kenyataannya, anak cenderung meminimalisir dan menyangkal, alih-alih membumbui apa yang terjad padanya. “Beberapa anak hanya tidak mau mengungkapkan pengalaman mereka, beberapa yang lain kesulitan mengingat apa yang terjadi pada mereka, dan satu orang tidak memiliki cukup konsep pemahaman untuk menjelaskan apa yang terjadi. Bahkan ketika wawancara menggunakan pertanyaan yang mengarahkan, tidak satupun anak membumbui laporannya atau menuduh pelaku melakukan tindakan yang tidak benar-benar terjadi” (Sjoberg&Lindbald, 2002).

  1. Dengan menggunakan wawancara berulang, terapis atau polisi dapat dengan mudah menanamkan ingatan palsu dan menyebabkan tuduhan palsu di antara anak-anak dari segala usia. Kenyataannya, kini terdapat penelitian laboratorium yang memadai menunjukkan bahwa anak-anak enggan membicarakan kejadian-kejadian yang memalukan bagi mereka (Lyon, 1999; 2002).

Nah, itulah mitos-mitos yang umum diyakini masyarakat sekaligus fakta yang menyangkalnya. Bagaimana dengan di negara kita sendiri? Seperti sudah disampaikan di atas, kita juga tidak dapat mengabaikan potensi bahaya ini bagi kehidupan anak-anak. Tidak hanya anak kita sendiri, namun juga anak-anak dilingkungan kita. Bagi pembaca yang mempunyai akun twitter, silakan ikuti garis waktu @BraveKidsVoice yang kerap menyuarakan jeritan hati anak-anak, serta menyerukan pada orang tua dan orang dewasa agar bertanggung jawab melindungi dan memberikan kasih sayang yang dibutuhkan anak-anak.

Meskipun ada ancaman bahaya bagi anak-anak, mereka memiliki pertahanan terbaik yang sangat dekat dengan mereka : ORANG TUA-nya. (Disadur dari situs : http://earlychildhoodnews.net/index.php?option=com_content&view=article&id=290:sexual-abuse-and-children&catid=7:health&Itemid=13 )

Senjata yang orang tua miliki adalah Informasi. Berikan informasi yang tepat pada anak agar dia bisa membedakan mana hal yang patut dan mana yang tidak dari perilaku orang lain terhadapnya. Jaga keterbukaan komunikasi dan penerimaan kita sepenuhnya pada anak agar mereka merasa nyaman dan AMAN untuk menceritakan apapun yang mereka alami pada kita. Latih kemampuan mereka untuk berkata TIDAK pada hal-hal yang tidak dia inginkan.

Berikut TIPS dari Shara Lawrence-Weiss, seorang pakar pendidikan anak dan pengasuhan, yang juga aktif menulis di beberapa situs anak : Usia 2 tahun, berbicara pada anak mengenai bagian-bagian tubuhnya.

  1. Usia 4 tahun, pembicaraan menjadi lebih detail.
  2. Usia 6 tahun, memberi pemahaman pada anak mengenai arti pelecehan/penganiayaan dan dan lingkaran penyakit yang melahirkan perilaku seperti itu. Anak paham dengan baik bahwa tidak ada satupun orang yang boleh menyentuhnya secara tidak patut.

Jangan menyembunyikan informasi dari anak. Berbagilah informasi sehingga mereka mempunyai kemampuan memahami perbedaan “sentuhan yang aman” dan “sentuhan yang tidak patut”. Pastikan mereka memahami, jika ada orang laki-laki atau perempuan yang memaksakan tindakan seksual kepada mereka, hal itu bukan kesalahan mereka sama sekali. Yakinkan mereka bahwa anda ada untuk mendengarkan mereka, selalu. Yakinkan mereka bahwa anda adalah safety net kemana mereka bisa ditopang jika mereka mengalami kejatuhan.

Jangan pernah lupa, bahwa anda adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Semua penelitian menunjukkan bahwa anak-anak kebanyakan mendengarkan apa kata orang tua meski mereka berpura-pura tidak memperhatikan. Kata-kata kita berarti dan bimbingan serta informasi dari kita adalah semua yang mereka perlukan untuk melawan pengaruh buruk di sekitar mereka.

Tidak ada komentar: