Jumat, 28 Januari 2011

ON FAMILY LIFE - 1


Saya lagi hobi sama bidang pengasuhan anak. Pas banget karena lagi membesarkan 3 balita sekaligus saat ini. Beberapa tahun lalu saya punya buku jurnal, yang isinya "pelajaran" yang saya petik dari pengalaman sehari-hari. Buku itu saya tulis dg gaya bahasa bercerita kepada anak-anak. Harapan saya, kelak ketika mereka sudah cukup usia, mereka bisa belajar dari petikan-petikan pelajaran yang saya tulis.

Tentu saja, jurnal tersebut tidak berlanjut. Pertama karena bukunya terselip entah dimana. Kedua karena kesibukan sebagai ibu bekerja yang berusaha tetap "hadir" dalam kehidupan anak-anaknya sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Ketiga karena berbagai tantangan hidup yang kami hadapi, membuat perasaan saya tidak cukup jembar untuk menulis petikan "pelajaran" lagi saat itu. Terakhir, karena hadirnya putri (Insya Allah) bungsu kami :)

Untuk menebusnya, saya berupaya menuliskan beberapa hal yang saya ingat dari jurnal saya yang hilang itu. Tersemangati oleh ujaran seorang teman bernama Kartika Monoarfa ketika dia -nyeletuk- "mba, bikin buku saku begini aja (dia menunjuk bukunya Rene Suhardono) tentang family".

1. Kontak Mata penting dalam hubungan-hubungan terdekat kita.
Katanya Mata adalah jendela jiwa. Mata juga media terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak diucap dengan kata.

Ayah dan Bunda yang sehari-hari sibuk dengan pekerjaan, tugas-tugas rumahan, dan mengasuh anak-anak, kekurangan waktu untuk saling bercengkrama. Sering pembicaraan terjadi ditengah-tengah sedang melakukan sesuatu. Kebutuhan kami untuk berbagi tidak terpenuhi. Salah satu pengobatnya dengan melakukan kontak mata. Efeknya nyaman banget. Kalau untuk saya sih, bagaikan tanaman yang disiram. Jadi tambah segar. Karena bila kontak mata terjadi, biasanya ada efek ke bibir...jadi ingin senyum. Kecuali, tentu kalau kontak mata-nya sambil melotot akibat sedang berselisih ;))

2. Sentuhan
Wah, ini salah satu favorit saya. Dengan anak-anak kami royal sekali memberikan pelukan, belaian, dan ciuman. Kami juga mengumbar kata-kata "sayang". Sebagai dampaknya, kami sering menerima ungkapan-ungkapan ini dari anak-anak. Saya berharap kebutuhan kasih sayang (afeksi) mereka terpenuhi dengan cara ini. Namun, ini bukan satu-satunya cara lho. Ada banyak lagi cara memenuhi kebutuhan psikis anak. Oia, cara ini juga ga terlalu efektif jika anak tidak pernah atau jarang melihat Ayah-Bunda-nya mengungkapkan kasih sayang. Misalnya dengan membelai, mengecup kening, bergandengan tangan, dan lainnya yang masih dalam batas kepatutan. Kalau di Barat bapak dan ibu ciuman di depan anak-anak  masih dianggap wajar secara kultural. Jadi tetapkan sendiri standar di keluarga kita, bersikaplah jujur, santun, dan patut. Dengan demikian, kita sekaligus mengajarkan batasan (boundaries) pada anak-anak.

3. Change yourself, you'll change your situation and people around you
Ini salah satu mantra yang saya pegang dalam menjalani hidup. Apapun masalah yang datang, hadapilah, klaim tanggung jawab-mu, dan perbaiki. Cara memperbaiki bisa dengan mengubah diri, mengubah cara kita merespon, mengubah cara berpikir kita, yang akhirnya akan mengubah perasaan kita terhadap situasi tersebut. Yang tadinya punya sudut pandang sebagai korban dan merasa dizalimi, lalu berubah sudut pandang menjadi orang yang bisa mengatasi dan merasa mampu. Perlu diingat, tergantung dari besar-kecil peristiwa yang dialami, dalam-dangkal efek emosionalnya terhadap kita, dan kematangan pribadi akan berpengaruh pada durasi proses ini. Kecepatan tiap orang berbeda, begitulah gampangnya. Lakukan ini dengan tekun dan terus menerus. Apapun hasilnya, pasti ada "pelajaran" yang bisa dipetik untuk bekal melangkah dalam kehidupan selanjutnya.

4. Boundaries (Batasan)
Ini hal yang penting untuk dimiliki tiap individu. Dan teramat mendesak untuk diajarkan kepada anak-anak. Batasan adalah garis yang membedakan diri kita dengan orang lain, dimana ada area milik kita sendiri dan ada area orang lain. Masing-masing tidak boleh saling melanggar. Hewan 1 sel pun juga mempunyai batasan yang memisahkan dia dari amoeba yang lain, maupun tempat hidupnya. Itu adalah kesatuan (entity) diri. Batasan bisa berupa fisik, psikologis, dan spiritual. Contoh batasan fisik : jarak yang dirasa nyaman antara tubuh kita dengan orang asing, akan berbeda dengan jarak nyaman kita dengan adik/kakak. Contoh batasan psikologis : joke tertentu bisa kita terima ketika datangnya dari seorang sahabat lama, ketimbang jika datangnya dari atasan di kantor. Contoh batasan spiritual : ah, yang ini saya ngga banyak komentar. Sudah cukup banyak bukti pelanggarannya di beritakan ;)
Dalam menerapkan konsep boundaries dengan anak-anak, modal utamanya adalah RESPECT.

Ya, Respect. Padanan kata dalam bahasa kita apa ya? Belum ketemu yang pas. Ini adalah gimana kita menghargai diri kita, sehingga kita mampu menetapkan batasan mana yang boleh dan mana yang tidak, mana yang mau kita terima dan mana yang kita tolak. Ini juga tentang bagaimana kita menghargai bahwa orang lain punya hak yang setara dengan kita. Sama pentingnya. Jika anak berebut mainan sama adiknya, lalu si adik memukul kakak, hasil akhir yang kita inginkan tentu agar mereka berdamai. Tetapi jika si kakak terlalu sakit (perasaan/fisik), dan tidak mau berdamai, terima saja. Beri dia waktu, sambil tetap mengingatkan "nanti kalau marahnya sdh hilang, mau ya memaafkan adik dan berbaikan?". Kita menghargai perasaannya dan menerima bahwa dia butuh memproses itu.

*to be continued*


Tidak ada komentar: